Monday, September 10, 2007

Kebutuhan…??? Harga Diri……??????

Siang itu aku dan teman kerjaku secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pimpinan dan sekaligus pemilik sebuah perusahaan kontraktor. Kami sudah lama tidak berkomunikasi. Sembari menikmati makan siang dan menanyakan kabarnya (keadaan dia dan keluarganya, juga menanyakan perkembangan perusahaannya). Dia menceritakan sesuatu yang sangat menarik dan mengusik pikiranku.

Dia mengatakan di dalam perusahaan yang dia pimpin, dia tidak pernah menggunakan cara PHK ketika tidak puas dengan kinerja karyawannya atau ketika karyawannya melakukan suatu kesalahan. “….Jika mem-PHK karyawan,saya harus mengeluarkan uang untuk membayar pesangon atau gaji sampai kontrak perjanjian berakhir dan saya tidak mau rugi walau sedikitpun….” Inilah ungkapan bapak tersebut. Ketika saya tidak puas dengan kinerja karyawan saya atau salah satu karyawan melakukan kesalahan fatal maka saya akan memanggil karyawan tersebut serta memindahkan meja kerjanya persis di depan meja saya. Kemudian saya tidak akan memberikan dia pekerjaan serta tanggung jawab sedikitpun dan tidak mengijinkan dia melakukan tugas-tugasnya. Saya meminta karyawan yang lainnya untuk mengambil alih semua tanggung jawabnya. Setiap harinya saya membeli sedikitnya tiga jenis surat kabar dan meminta dia untuk membaca seluruh halaman surat kabar tersebut setiap lembarnya. Ketika saya menanyakan berita hari ini maka karyawan tersebut harus mampu memberikan jawaban secara detail.

Teman saya tersebut mengatakan bahwa beliau telah melakukan strategi ini selama bertahun-tahun dan setiap orang yang diperlakukannya seperti ini biasanya hanya bertahan sebulan kemudian langsung mengundurkan diri. Dengan tidak membebani karyawannya akan tugas-tugas kantor, mengasingkan dia dari komunitas lingkungan kerja dan tidak melibatkan dia dalam aktivitas perusahaan akan membuat karyawan tersebut merasa tidak dihargai dan tidak dibutuhkan yang pada akhirnya membuat dia mengambil keputusan mengundurkan diri.

Aku terkesan dengan caranya memenejemen karyawan. Aku tahu betul bahwa dia sama sekali tidak pernah belajar manajemen personalia atau bahkan tidak pernah membaca teori-teori tentang manajemen sumber daya manusia namun kenyataannya strategi yang dia terapkan merupakan aplikasi dari teori-teori dan hasil-hasil penelitian mengenai Human Resource Development. Aku baru menyadari bahwa ketika kita diperhadapkan pada pilihan antara uang dan harga diri dalam komunitas lingkungan kerja maka kita akan memilih harga diri. Inilah alasan mengapa cara yang dipergunakan oleh temen saya tersebut selalu berhasil menyelesaikan masalah karyawannya.

Sekarang aku me-review kehidupanku kembali sehubungan dengan pentingnya arti harga diri berdasarkan survey hasil penerapan strategi manajemen karyawan temanku tadi. Aku dalam hidup ini sering sekali mengasingkan DIA pencipta kehidupan dan alam semesta ini dari kehidupanku. Tidak menganggap DIA penting terlibat dalam rencana-rencanaku serta sering membebas tugaskan-Nya. Jika temanku tadi melakukan ini pada karyawannya karena kekecewaan atau kesalahan yang dilakukan, tetapi aku melakukan ini tanpa alasan apapun.

Aku mulai berfikir bagaimana jika suatu saat DIA jenuh dan memilih untuk resign dari kehidupanku? Memilih untuk mempertahankan harga diri-Nya seperti karyawan teman aku tadi? Apakah aku sebagai manusia lebih tinggi derajatnya dibanding DIA,sehingga DIA layak untuk tidak dihargai sedangkan aku harus berontak dan memperjuangkan harga diriku ketika orang lain merendahkannya,…??? Aku tersenyum dalam hati,… betapa egoisnya aku dan betapa mulianya DIA,….

Monday, September 3, 2007

BEKERJA PADA LEVEL YANG TERTINGGI

Bekerja merupakan bagian dari kehidupan, hanya saja pengertian bekerja seringkali hanya kita tujukan pada “Market Place”. Baik yang bekerja di market place (secular) maupun yang bekerja di pelayanan keagamaan, keduanya pernah mengalami masa sulit (pergumulan) di dalam pekerjaannya serta memiliki tingkatan diposisi mana seseorang itu bekerja.

Kita bekerja memiliki tujuan yang berbeda-beda. Teori Hirarki kebutuhan Maslow merupakan alasan mengapa kita bekerja. Maslow menyatakan bahwa ada 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia. Pada tingkat yang pertama (paling bawah) yaitu kebutuhan akan Fisiologis (sandang/pangan). Pada tingkat kedua yaitu kebutuhan akan Keamanan dan Keselamatan. Pada tingkatan yang ketiga yaitu kebutuhan akan Sosial (memiliki teman). Pada tingkatan yang keempat yaitu kebutuhan akan Penghargaan (pujian) serta tingkat yang terakhir (yang paling tinggi) adalah kebutuhan akan Aktualisasi Diri (bertindak sesuai dengan bakat dan minat).

Hirarki kebutuhan ini dapat kita gunakan untuk menyelidiki pada level mana sebenarnya saat ini kita bekerja, baik kita yang bekerja di bidang secular maupun bidang lainnya. Jika saat ini focus kita bekerja hanyalah semata untuk menghasilkan uang maka kita bekerja hanya pada tahap untuk bertahan hidup (survival) dan kita tergolong dalam level pertama dan kedua dalam hirarki kebutuhan Maslow. Jika tujuan kita bekerja untuk memiliki relationship maka kita bekerja untuk mencari kenyamanan diri (comport) serta kita tergolong dalam level ketiga. Jika kita bekerja karena ingin berkembang dan meraih kesuksesan (growing and success) maka kita berada pada level ke empat karena dengan kesuksesan yang kita peroleh maka kita expect untuk mendapat pujian dan rasa hormat dari orang lain.

Tingkatan terakhir dan yang tertinggi adalah jika kita bekerja dengan tujuan utama untuk memberi yang terbaik yang kita miliki di tempat kita bekerja karena dengan memberi maka kita memperoleh kebahagiaan (giving to get happiness or working to serve our soul) dan hiraki kebutuhan Maslow menunjukkan ini pada level yang tertinggi yaitu bekerja pada pelayanan dan panggilan hidup.

Mello dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa “People work for money but they also work for more than money. Most employees want to be proud of their organization, to have good relationship with other employees and managers and to believe they have worthwhile jobs” Jika tujuan kita bekerja sudah sampai pada tingkatan ini maka sebenarnya kita sudah bekerja pada tingkat yang tertinggi. Kita sudah melewati masa ketidak nyamanan dan kekurangan karena standard untuk itu sebenarnya kita sendiri yang menentukan. Setiap kita baik yang saat ini berada pada posisi top level manager, seorang staff biasa atau bahkan buruh pabrik sekalipun bisa berada pada tiap level tersebut tergantung dimana kita meletakkan tujuan kita bekerja. Hironisnya jika lebel posisi yang kita pegang dalam suatu organisasi adalah di level atas tetapi kenyataannya jiwa dan mindset pada level bawah.

src='http://widget.meebo.com/mm.swf?YCGQGCAOUN' type='application/x-shockwave-flash' width='250' wmode='transparent'/>